Membaca Bukan Hobi, Menjadi Penulis Bukan Cita-cita

Setiap dihadapkan pada pertanyaan tentang hobi, dalam beberapa kesempatan saya menjawab hobi saya adalah membaca. Bukan karena sudah ribuan judul buku yang saya baca, bukan pula karena rak buku di rumah sudah penuh semuanya. Saya membaca buku tidak setiap hari. Saya membaca buku hanya sesekali saja. Kenapa saya menyatakan hobi saya adalah membaca karena pilihan hobi yang lain seperti olahraga, melukis, bermain musik, bernyanyi, lebih jarang saya lakukan, bahkan ada yang belum pernah saya lakukan.

Saya selama ini enjoy saja menyatakan membaca sebagai hobi, sampai suatu ketika saya membaca twit (kicauan di twitter) seorang teman bahwa menjadikan membaca sebagai hobi itu salah. "Membaca itu kewajiban, bukan hobi", begitu kurang lebih twitnya. Analoginya sama dengan makan. Makan itu kewajiban (atau kebutuhan), sehingga menyatakan makan sebagai hobi itu tidak tepat. Analogi yang lain adalah shalat bagi seorang muslim. Menyatakan shalat sebagai hobi itu kurang tepat, karena shalat itu wajib dilakukan. 

Jadi, membaca itu bukan hobi, membaca adalah kewajiban. Tentu saja konteksnya bukan hanya membaca buku, majalah, surat kabar, media online, atau teks lainnya, tetapi juga membaca situasi sekitar kita, membaca apa yang terjadi di lingkungan kita, membaca fenomena alam, dan membaca semua hal yang kita lihat dan rasakan.

Itu tentang hobi membaca, bagaimana dengan cita-cita menjadi penulis? Dari dulu sampai sekarang saya masih memiliki cita-cita menjadi seorang penulis buku. Sudah banyak judul yang saya ciptakan, tetapi tak satu pun buku yang sudah diterbitkan, karena memang tak pernah saya tulis bukunya, hanya menciptakan judulnya. Kadang saya berpikir menjadi penulis buku itu seharusnya mudah, tetapi saya sering menyadari bahwa menjadi penulis itu tidak semudah yang saya pikirkan.

Dalam sebuah workshop menulis yang diselenggarakan pada tanggal 24 Maret 2012 di Sekolah Indonesia Singapura, Gol A Gong penulis novel Balada Si Roy menuturkan bahwa menjadi penulis itu bukanlah cita-cita. Menjadi penulis itu adalah proses alamiah saja ketika seseorang sudah banyak membaca. Kalau diibaratkan sebuah ember, setiap kali kita membaca, kita mengisi ember tersebut dengan air. Maka ketika kita terus menerus membaca, ember tersebut akan penuh dan butuh keran untuk mengeluarkan sebagian isinya. Proses mengeluarkan air melalui keran itu adalah analogi dari kegiatan menulis ketika memori atau pikiran kita sudah penuh dengan hasil bacaan kita.

Hmm, saya merasa bersalah lagi nih. Setelah sebelumnya merasa bersalah menjadikan menulis sebagai hobi, sekarang merasa bersalah menjadikan penulis buku sebagai cita-cita. Lebih merasa bersalah lagi karena setelah mengklaim hobi membaca, ternyata kegiatan membaca saya juga tidak seberapa. Dan lebih merasa bersalah lagi karena setelah mengkalim punya cita-cita menjadi penulis, ternyata sampai saat ini belum satu pun buku yang berhasil saya tulis.

Wah wah, saya harus terus berbenah. Saya harus lebih rajin membaca, karena membaca itu adalah sebuah kewajiban. Ketika saya berhenti atau malas membaca, berarti ketika itu pula saya sedang mangkir dari kewajiban saya. Selain lebih rajin, saya juga harus lebih serius membaca, supaya hasil dari kegiatan saya membaca lebih banyak terekam maknanya, dan ketika semakin banyak makna yang berhasil saya rekam, maka seharusnya secara alamiah saya menuliskannya ke dalam tulisan berupa buku, supaya memori dalam otak saya selalu cukup untuk merekam berbagai makna baru yang saya baca di luar sana.

Mari membaca. Mari menulis.

One Response so far.

  1. Artikel yang sangat bagus, deskripsi yang sangat jelas dan sangat berkualitas. Situs web Anda sangat membantu. Terima kasih banyak sudah berbagi !