Republik Petani


Saya bermimpi di dunia ini ada sebuah negeri bernama Republik Petani. Di negeri
itu, profesi yang paling digemari adalah menjadi petani. Selain karena tanahnya
subur, iklimnya bagus, hujan turun sepanjang tahun, matahari juga bersinar
sepanjang tahun, rakyat di negeri itu berkeyakinan menjadi petani adalah bentuk
rasa syukur kepada Sang Pencipta atas tanah subur yang dikaruniakan kepada
mereka. Menjadi petani berarti memakmurkan bumi, salah satu misi manusia menjadi khalifah di muka bumi.

Rakyat di Republik Petani juga meyakini bahwa dengan menjadi petani mereka bisa
hidup mandiri, memenuhi kebutuhan hidup tanpa tergantung kepada orang lain.
Dengan menjadi petani, mereka juga bisa memberi dari kelebihan hasil produksi.
Bahkan kelebihan hasil produksi membuat mereka bersyukur menjadi pembayar zakat
kepada negara.

Di Republik Petani, pekerjaan yang paling tidak diminati adalah menjadi pegawai
negeri. Dengan menjadi pegawai negeri, masyarakat merasa kurang berkontribusi,
bahkan cenderung merasa sebagai kaum yang diberi, karena mendapat gaji dari
sebagian zakat para petani.

Jika tidak dipaksa, mungkin tidak ada yang mau jadi pegawai negeri. Bahkan
banyak rakyat yang rela membayar denda daripada menjadi pegawai negeri.

Hey, ternyata ada lho negara yang disebut Republik Petani. Di negara itu 40%
tenaga kerja bergerak di bidang pertanian. Tetapi kebanyakan adalah buruh tani
tanpa lahan. Dan menjadi petani karena tak ada lagi pilihan.

Negara itu dikaruniai tanah yang subur, hujan turun dan matahari bersinar
sepanjang tahun. Negara itu menjadi pengekspor utama komoditas kopi, karet,
kelapa sawit, dan komoditas lainnya. Tetapi hanya sebagian kecil saja yang
menikmati itu semua.

Tetapi untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan, negara itu paling doyan impor.
Tahun 2011 tak kurang dari 2,6juta ton beras diimpor. Belum lagi impor daging,
susu, kedelai, dan komoditas bahan pangan lainnya.

Di negara itu banyak yang alergi jadi petani. Karena petani itu identik dengan
miskin, gak punya uang. Menjadi petani dinilai dengan berapa rupiah yang bisa
dihasilkan.

Sebaliknya, menjadi pegawai negeri adalah profesi impian. Setiap posisi jadi
rebutan. Bila perlu, sogok kiri-kanan. Bahkan bila terpaksa, jual pula itu tanah
warisan.

Ah, saya merindukan Republik Petani seperti yang saya sebutkan di awal tulisan.
Saya rindukan masyarakat yang gemar kembali ke alam, ke kampung-kampung,
bercocok tanam, beternak, dan berbagai aktifitas pertanian. Bukan, bukan berapa
jumlah uang yang bisa dihasilkan. Bukan berapa banyak kekayaan yang bisa
dikumpulkan. Bukan itu yang kita butuhkan.

Saya yakin sudah banyak beberapa orang yang melakukannya duluan. Hidup di
kampung dan tercukupi semua kebutuhan. Tidak ikut-ikutan lomba mengumpulkan
kekayaan, yang pada akhirnya semua itu ternyata hanyalah bayangan.

Puzzle-puzzle itu bertebaran. Puzzle-puzzle itu perlu disatukan, sehingga
membentuk rupa yang utuh yang kita bayangkan. Titik-titik itu perlu tali untuk
saling berhubungan. Saling melengkapi berbagai kekurangan, saling membantu
berbagai kebutuhan.


Perlu adanya komunitas yang bisa menjadi platform komunikasi antar petani. Dengan komunitas tersebut diharapkan akan terwujud kebangkitan Republik Petani.


*gambar dikutip dari http://tech.groups.yahoo.com/group/SW_FL_Small_Farms/