Setiap tanggal 21 April di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini. Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang sehingga lahir Hari Kartini?
Kalau kita baca sejarahnya, Kartini yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di tanah Jawa (tepatnya daerah Jawa Tengah) harus mengikuti tradisi bahwa perempuan tidak memiliki hak atas pendidikan yang layak.
Tradisi ini membuatnya gundah sehingga Kartini ingin mengubah tradisi agar perempuan juga mendapatkan hak memperoleh pendidikan yang layak.
Pada periode yang sama (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20), tradisi yang serupa juga terjadi di bagian lain pulau Jawa, tepatnya di tanah Pasundan.
Adalah Dewi Sartika yang pada usia 18 tahun mencoba mendobrak tradisi dengan merintis berdirinya Sekolah Perempuan yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Keutamaan Perempuan.
Mungkin masih banyak pahlawan-pahlawan lain yang berjuang untuk memperjuangkan hak perempuan mendapatkan pendidikan.
Dalam ajaran Islam, menuntut ilmu hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan, seperti tertulis dalam sebuah hadits: "Tholabu al-ilmi fariidhotun alaa kulli muslimiin wa al-muslimaat", menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan.
Hadits tersebut lahir pada sekitar abad ke-7, jauuh sebelum masa hidup Kartini dan Dewi Sartika.
Saya tidak tahu apakah Kartini dan Dewi Sartika mengetahui hadits tersebut. Yang pasti apa yang mereka lakukan pada waktu itu sejalan dengan semangat hadits tersebut.
Beruntunglah para perempuan yang hidup di zaman sekarang, karena tidak ada lagi tradisi yang menghalangi hak perempuan mendapatkan pendidikan.
Tetapi apakah perempuan sekarang semuanya sudah mendapatkan pendidikan yang cukup? Jawabannya mungkin tidak.
Bisa jadi masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup karena yang bersangkutan malas menuntut ilmu.
Kalau melirik lagi hadits di atas, perempuan bukan sekedar berhak atas pendidikan, tetapi perempuan wajib menuntut ilmu.
Jadi alangkah ruginya jika seorang perempuan malas menuntut ilmu. Selain rugi tidak memiliki ilmu, dia juga rugi melanggar kewajibannya.
Kembali ke pertanyaan di atas, bisa jadi masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan karena tidak memiliki akses untuk pendidikan dengan alasan tidak ada biaya atau karena pemerintah belum sanggup menyediakan infrastruktur pendidikan bagi seluruh masyarakat.
Anda mungkin akan kaget ketika mengetahui bahwa, bahkan di Bogor yang berjarak kurang dari 100km dari ibu kota Jakarta pun, masih banyak perempuan yang buta huruf.
Bukan, bukan perempuan tua yang lahir dan tumbuh sebelum Indonesia merdeka. Masih banyak perempuan-perempuan muda berusia 20an yang buta huruf.
Padahal negara Indonesia sudah 66 tahun merdeka. Padahal mereka hidup 1 abad kemudian setelah masa Kartini dan Dewi Sartika.
Adalah tugas kita semua membantu mereka yang masih mengalami kesulitan mendapatkan pendidikan.
Dengan membantu para perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan, berarti kita meneruskan perjuangan Kartini, Dewi Sartika, dan para pejuang lainnya yang telah mendahului kita.
Dan bagi seorang Muslim, membantu orang lain mendapatkan kesempatan meraih pendidikan dan menuntut ilmu, berarti membantu mereka dalam memenuhi kewajibannya.
Dan insya Allah itu akan tercatat sebagai sebuah amal kebaikan.
- Posted using BlogPress from my iPhone
Posting Komentar