Mang Uki, TKI Cerdas Finansial

Kamis, 17 Mei 2012, sekitar pukul 8 malam, saya makan di Fork & Spoon, sebuah food court makanan halal di Toa Payoh, Singapura. Ketika saya sedang menikmati Tom Yam ditambah nasi, dari kejauhan saya melihat Mang Uki.

Mang Uki pun akhirnya melihat dan menghampiri saya. Sambil berjabat tangan, dia akrab menyapa, "Ka mana wae yeuh?" yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Ke mana aja ni?" Setelah saling menyapa, kemudian Mang Uki duduk menemani saya.

Mang Uki mulai cerita kalau izin kerja dia di Singapura akan berakhir bulan ini (Mei 2012). "Bos sudah mengajukan perpanjangan, tapi ditolak," lanjutnya. Tanpa ditanya, Mang Uki melanjutkan cerita bahwa bosnya sedang berusaha terus mengajukan perpanjangan izin kerjanya. Kalau sampai akhir Mei izin kerjanya belum disetujui juga, Mang Uki akan pulang ke kampungnya tanggal 1 Juni. Dia akan tetap di kampung sambil terus menuggu status izin kerja sampai akhir Juni. Seandainya sampai akhir Juni izin kerjanya tetap tidak disetujui, Mang Uki berencana membuka warung makan di Jakarta.

Sambil melanjutkan makan Tom Yam, saya mencoba menggali informasi tentang Mang Uki. Selama ini saya hanya mengenal Mang Uki sebagai koki di warung makan "Ayam Bakar Ojolali". Perkenalan saya dengannya pun karena pada saat-saat awal tinggal di Singapura saya sering pesan makan di tempatnya bekerja.

Dari obrolan santai itu, saya jadi tahu kalau Mang Uki sudah bekerja di Singapura selama hampir empat tahun. Dari hasil kerjanya itu Mang Uki berhasil membeli rumah seharga 200 juta rupiah di daerah Pasar Minggu. Katanya sekarang rumahnya tersebut sudah ada yang menawar 250 juta rupiah, tetapi Mang Uki tidak mau menjualnya, karena rumah itu rencananya akan dijadikan tempat tinggal.

Mang Uki juga berhasil membuat rumah di kampungnya di Majalengka, Jawa Barat. Total biaya yang digunakan untuk membangun rumah tersebut sekitar 200 juta rupiah. "Wah, hebat juga ya," dalam hati saya bergumam.

Mang Uki melanjutkan ceritanya kalau dia memang tidak punya banyak uang tabungan, karena menggunakan uangnya untuk membeli dan membangun rumah, juga untuk membiayai anaknya kuliah.

Saya melanjutkan pertanyaan berapa rupiah yang berhasil dia sisihkan setiap bulan, dan sudah berapa lama itu dilakukan. Tak lupa saya juga menanyakan berapa besar gaji yang dia terima sebagai koki di warung makan.

Mang Uki bercerita kalau dia mengajak istrinya komitmen untuk menyisihkan uang hasil jerih payahnya minimal sepuluh juta rupiah per bulan. Dalam beberapa kesempatan bahkan berhasil menyisihkan dua belas juta rupiah per bulan. Selama empat tahun, hal itu konsisten mereka jalankan.

Mang Uki menerima gaji setiap bulan sebesar 2.200 dollar Singapura . Jika satu dolar Singapura bernilai tujuh ribu rupiah, berarti Mang Uki berhasil menyisihkan uang sekitar 1.500 sampai 1.700 dolar Singapura per bulan. Itu berarti Mang Uki setiap bulan berhasil menyisihkan 68% - 77% gajinya.

Wow, luar biasa ya. Menurut saya, Mang Uki adalah salah satu contoh seorang TKI yang cerdas secara finansial. Dia menyadari bahwa dia tidak akan selamanya bekerja, sehingga selagi mendapatkan gaji sebagai pegawai, dia berusaha untuk menyisihkan sebagian uangnya untuk membeli rumah, biaya anak kuliah, dan persiapan buka usaha.

Bagaimana dengan Anda?