Suatu hari Pak Mukhlish pergi ke kedai dan memesan susu murni. Setelah menunggu sebentar, pelayan membawakan susu pesanan Pak Mukhlish. Karena pesanannya datang sesuai dengan yang diminta, Pak Mukhlish senang sekali dan membayarkan sejumlah uang.
Di lain hari, Pak Mukhlish pergi ke kedai dan memesan susu murni. Ketika pelayan kedai datang membawa pesanannya, Pak Mukhlish bingung kok susu pesanannya tidak berwarna putih, tetapi berwarna keruh. Setelah diselidiki ternyata, susu yang dipesannya tercampur dengan darah dan kotoran hewan. Spontan saja Pak Mukhlish marah dan tidak mau menerima susu yang tidak murni tersebut.
Pekan lalu, saya dan beberapa teman diskusi pekanan membahas topik ikhlash. Sebuah kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita, tetapi kata tersebut sangat penting, dan kita harus terus belajar memahami dan melaksanakannya.
Di dalam diskusi tersebut, seorang teman mengutip sebuah ayat Quran yang menggunakan kata khaalisha, yang akar katanya sama dengan kata ikhlash.
Kata khaalisha digunakan untuk menyebutkan sifat susu yang murni, bersih, tidak tercampur dengan darah dan kotoran. Sebagaimana kita ketahui, di dalam hewan ternak seperti sapi terkandung darah dan kotoran, tetapi dari hewan ternak tersebut bisa keluar susu yang murni, bersih, tidak tercampur dengan darah dan kotoran.
Dalam setiap amal atau kebaikan yang kita lakukan, kita dituntut untuk melaksanakannya dengan niat yang ikhlash. Niat yang ikhlash, niat yang hanya karena Allah, hanya mengharapkan ridho Allah, adalah syarat diterimanya amal kita.
Niat yang ikhlash mudah sekali kita ucapkan, tetapi dalam praktiknya tidak mudah untuk dilaksanakan. Begitu banyak godaan bagi kita untuk mencampur berbagai "kotoran" ke dalam niat kita. Riya (ingin pamer), sombong, ingin dipuji, adalah contoh beberapa "kotoran" yang membuat niat kita tidak lagi ikhlash.
Jika Allah meminta kita melakukan amal dengan niat ikhlash, tetapi kemudian kita melaksanakan amal dengan niat yang tercampur "kotoran", apakah amal kita akan diterima oleh Allah? Mungkin kita bisa menjawabnya dengan melihat cerita Pak Mukhlish di awal tulisan ini. Wallahu A'lam.
Posting Komentar